DILI, STLNEWS.co – Jabatan Komisaris Komisi Anti Korupsi (KAK) Sergio Hornai dicopot oleh Presiden Parlamen Nasional (PPN) Aniceto Guterres karena KAK mulai menyentuh kasus-kasus yang melibatkan orang-orang besar, seperti kasus Kapal Haksolok dan proyek pemerintah Sesta Bazika.
Pencopotan jabatan Komisaris KAK menimbulkan polemik berkepanjangan karena keputusan diambil tanpa melalui sidang pleno Parlamen Nasional.
Pemerhati masalah politik dari Universitas Dili (UNDIL), Hugo Lourenco menyoroti pencopotan jabatan Komisaris KAK secara sepihak tanpa melalui sidang pleno Parlamen Nasional.
Menurutnya, pencopotan jabatan Komisaris KAK tanpa melalui sidang pleno Parlamen Nasional, diduga kuat terkait dengan investigasi KAK pada kasus Kapal Haksolok dan proyek pemerintah Sesta Bazika.
“Ada hubungannya dengan kasus kapal Haksolok dan Sesta Bazika karena ada indikasi yang menang proyek Sesta Bazika dari anggota Parlamen Nasional dan perusahaan-perusahaan partai politik,” kata Hugo ketika dihubungi via telepon di Dili, Rabu (12/04/2023).
Pernyataan Hugo Lourenco diperkuat oleh Ketua Fraksi CNRT, Duarte Nunes bahwa pencopotan jabatan Komisaris KAK terkait kasus Kapal Haksolok.
Menurutnya, PPN memiliki kompetensi untuk memberhentikan Komisaris KAK dari jabatannya, hanya saja cara mereka untuk memberhentikan Komisaris KAK dengan memaksa untuk melakukan perubahan hukum KAK.
“Mereka sendiri yang memperpanjang mandat Komisaris KAK sambil menunggu terpilihnya Komisaris KAK yang baru. Namun, dalam perjalanan Komisaris KAK mulai menyentuh kasus Kapal Haksolok dan kasus-kasus lainnya, sehingga jabatan Komisaris KAK dicopot,” ujarnya.
Sementara itu, mantan Ketua Parlamen Nasional dari CNRT, Arão Noé mengatakan dalam konstitusi tidak ada satu pasal pun yang membicarakan tentang KAK. Tetapi karena Timor Leste meratifikasi konvensi internasional tentang KAK, maka pemerintah Timor Leste melalui Parlamen Nasional mendirikan KAK. Pada tahun 2009, Parlamen Nasional mengesahkan undang-undang mendirikan KAK dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya.
Karena itu, untuk melakukan pemilihan Komisaris KAK perlu kehadiran ¾ anggota Parlamen Nasional. Dengan demikian, Komisaris KAK dipilih bukan karena kepentingan pemerintah atau salah satu kelompok.
Arão Noé menjelaskan bahwa kandidat pertama Komisaris KAK mengalami masalah yang sama. Tetapi, CNRT tidak berpikir untuk merubah hukum KAK karena ingin konsensus. Ketika itu, calon Komisaris KAK dari pemerintah adalah Sergio Hornai, namun karena tidak ada konsensus maka Sergio Hornai mengundurkan diri dan pemerintah mengajukan nama Aderito de Jesus dan nama ini mendapat konsensus, sehingga Aderito terpilih menjadi Komisaris KAK.
Menyikapi berbagai sorotan tentang diberhentikannya Komisaris KAK terkait dengan kasus-kasus yang diinvestigasi KAK, Wakil Ketua Fraksi Fretilin, Antoninho Bianco mengatakan pemberhentian Komisaris KAK oleh PPN karena masa perpanjangan sudah selesai.
“Berdasarkan hukum KAK, mandat Komisaris KAK sudah selesai dan tidak akan diperpanjang lagi. Perpanjangan sebelumnya untuk menunggu terpilihnya Komisaris KAK yang baru. Namun, Komisaris KAK yang baru belum terpilih karena CNRT tidak hadir 6 kali persidangan. Kalau terus dilakukan perpanjangan berarti memberi preseden buruk dimata publik,” tuturnya.
Antoninho Bianco membantah bahwa pemberhentian Komisaris KAK dari jabatannya karena terkait kasus-kasus yang diinvestigasi KAK. Kasus yang sudah diinvestigasi terus berlanjut, bukan ditutup.
“KAK bukan Komisi Amankan Kawan, tetapi KAK mempunyai misi untuk mencegah terjadinya korupsi dan memberantas korupsi. Karena itu, siapa saja yang terpilih menjadi Komisaris KAK, bekerja sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku,” kata Bianco.
(alb/gui)